Kita manusia langit, mari sesekali turun ke bumi untuk melihat kehidupan apa adanya, merasakan indahnya keberagaman, dan memahami kosongnya kosnsep dan teori tanpa pengalaman
Penulis : Jajang A. Sonjaya (Ama Robi Hia)
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Tebal : 147 + xv halaman
Cetakan I : Januari 2008
Kegundahannya sangat beralasan karena rusaknya situs-situs bernilai sejarah tinggi di Indonesia bukan hanya terjadi kali ini. Trowulan hanya salah satu saja yang mencuat tajam ke permukaan karena melibatkan orang-orang penting di kepemangkuan warisan budaya. Orang-orang itu tak hanya membawa jabatannya, melainkan juga almamaternya sehingga universitas yang seyogyanya netral pun seolah berpihak karena dipertentangkan oleh mereka yang bertikai. Orang-orang yang justru paling bertanggung jawab terhadap pelestarian warisan budaya malah memberi contoh buruk pada masyarakat. Apa sebenarnya yang sedang terjadi?
Kerancuan Istilah
Meski kata warisan budaya bukan sesuatu yang asing lagi di telinga kita namun, jika mau jujur, banyak di antara kita yang masih bingung memahami maksudnya. Penyebab kebingungan itu barangkali karena adanya beberapa istilah lain yang hampir mirip pengertiannya, seperti tinggalan budaya, tinggalan arkeologi, tinggalan sejarah, dan benda cagar budaya (BCB). Kita sepertinya perlu untuk mengerti dan memahami masing-masing istilah, karena penggunaan istilah-istilah tersebut akan membawa implikasi yang berbeda terhadap cara kita memperlakukan warisan budaya.
Munculnya beragam istilah tersebut merupakan imbas dari adanya perbedaan perspektif tentang warisan budaya di kalangan para akademisi dan praktisi. Persoalan Jagad Jawa di Borobudur, sengketa tanah di Situs Dieng, gardu pandang di Sangiran, pengembangan pariwisata Candi Plaosan, revitalisasi Tamansari Yogyakarta, penetapan World Hetitage untuk Bawomataluo Nias, penetapan BCB Pura Besakih, alih fungsi Ambarukmo, pencurian arca Radya Pustaka, dan terkini Trowulan, merupakan beberapa cermin buram yang memperlihatkan betapa perbedaan perspektif itu telah menimbulkan kebingungan-kebingungan para pihak yang terkait dengan pengelolaan warisan budaya yang akhirnya berbuntut konflik yang umumnya tidak terselesaikan dengan baik.
Istilah tinggalan budaya biasa digunakan oleh arkeolog untuk menyebut artefak atau monumen yang ditinggalkan oleh manusia, baik individu ataupun komunitas, dari masa lalu, bisa dalam hitungan puluhan tahun hingga ribuan tahun silam. Tinggalan budaya dalam kaca mata arkeolog menunjuk pada budaya materi (material culture) hasil karya manusia, sehingga bersifat konkrit dan dapat diraba.
Berbeda dengan tinggalan arkeologi, tinggalan sejarah digunakan untuk menyebut tinggalan dari masa lalu yang belum mengalami proses ditinggalkan atau dibuang oleh masyarakat pendukungnya. Contoh dari tinggalan sejarah adalah Keraton Yogyakarta. Jadi, Keraton Yogyakarta keberadaannya berbeda dengan Situs Majapahit sebagai tinggalan arkeologi, karena Situs Majapahit yang berasal dari abad ke-13 Masehi ini telah ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar Situs Majapahit sekarang adalah masyarakat baru yang tidak mempunyai keterkaitan historis dengan candi. Jadi, Situs Majapahit adalah tinggalan arkeologi, sedangkan Keraton Yogyakarta adalah tinggalan sejarah.
Mengapa tinggalan arkeologi dan tinggalan sejarah dibedakan? Definisi ini terkait dengan implikasi pengelolaannya. Di dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan Benda Cagar Budaya (BCB) dibedakan adanya dua jenis BCB, yaitu monumen hidup (living monument) dan monumen mati (death monument). Berdasarkan pengertiannya, maka tinggalan arkeologi tergolong ke dalam monumen mati, sedangkan tinggalan sejarah tergolong ke dalam monumen hidup karena tinggalan sejarah belum pernah mengalami proses ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya dan terus dimanfaatkan atau difungsikan hingga sekarang.
Adapun yang dimasud BCB adalah tinggalan budaya/tinggalan arkeologi/tinggalan sejarah yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. BCB dilindungi hukum dari pengrusakan, pencurian, vandalisme, dan hal-hal lain yang mengancam keberadaannya. Dalam praktiknya, monumen mati bisa diperkakukan “sekehendak hati” oleh pemerintah, sedangkan monumen hidup tidak demikian karena masih ada masyarakat yang memiliki, memanfaatkan, dan memfungsikan tinggalan tersebut.
Sebagai sebuah karya manusia, tinggalan budaya atau apapun namanya, menurut Oakes (1990: 52) bukanlah merupakan entitas yang mati, melainkan memiliki nilai-nilai tertentu dan mencerminkan gagasan dari masyarakat pendukungnya di masa lalu yang dapat diambil hikmahnya untuk pegangan generasi-generasi penerusnya. Demikian pula ketika budaya bendawi yang telah ditinggalkan manusia masa lalu itu “dimiliki” oleh generasi sekarang, maka pemaknaannya pun mengalami perubahan sesuai dengan konteks sosialnya. Dengan melihat adanya proses pewarisan terhadap “sesuatu” dari generasi masa lalu, kemudian muncul istilah cultural heritage yang biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi warisan budaya. Istilah ini digunakan untuk menyebut tinggalan budaya, tinggalan arkeologi, tinggalan sejarah, BCB, bahkan tinggalan-tinggalan lain yang bersifat non-material seperti adat-istiadat, bahasa, kesenian, folklor, dan sebagainya.
Manajemen Kepentingan
Dari pengertian di atas menjadi jelas bahwa warisan budaya lebih sebagai sebuah simbol yang memiliki ragam makna ketimbang hanya sebagai benda mati semata. Selain warisan budaya itu memiliki nilai sejarah dan kultural yang melekat pada dirinya, ia juga selalu dimaknai berbeda dari generasi ke generasi. Bahkan dalam satu generasi, makna tersebut bisa sangat beragam. Di sinilah ironisnya. Di satu sisi warisan budaya itu kaya makna, namun dalam praktiknya telah banyak warisan budaya yang dieksploitasi untuk kepentingan-kepentingan ekonomi semata, termasuk Situs Trowulan. Mengapa para pelaksana proyek dan pemangku situs bersikeras meneruskan proyek padahal Dirjen Sejarah dan Purbakala sudah memerintahkan untuk dihentikan? (Kompas, 6/1/2009). Kalau mereka mau jujur, alasannya tentu uang.
Contoh eksploitasi ekonomi yang paling kentara terjadi di Borobudur. Ketika Candi Borobudur divonis sebagai monumen mati, maka UU 5/1992 dan PP 10/1993 sebenarnya tidak memperbolehkan BCB tersebut digunakan untuk kegiatan keagamaan. Kaum Budhis cukup kesulitan ketika hendak menjadikan Candi Borobudur untuk kegiatan mereka. Namun di sisi lain, karena Candi Borobudur dipandang sebagai sumberdaya, pemerintah tampaknya tidak ragu-ragu untuk menjadikan warisan budaya tersebut sebagai “mesin” yang dapat menghasilkan uang, yakni melalui sektor pariwisata. Nilai kultural dan kesakralan Borobudur pun tenggelam di antara hiruk-pikuk pedagang asongan, tertimbun ratusan pedagang kaki lima, dan samar tertutup hotel mewah yang dibangun pihak pengelola.
Dalam waktu hampir bersamaan, konflik serupa Borobudur terjadi pula di Sangiran. Kawasan tempat ditemukannya fosil manusia purba ini menjadi ajang sengketa antara pemerintah daerah, masyarakat, dan pihak purbakala. Pemerintah daerah tanpa koordinasi terlebih dahulu dengan pihak-pihak terkait tiba-tiba membangun gardu pandang di kawasan situs yang sudah ditetapkan menjadi Warisan Budaya Dunia. Selain itu, pemerintah daerah juga berniat menjadikan salah satu lokasi di Sangiran untuk tempat pembuangan akhir sampah.
Di sisi lain, Sangiran yang merupakan lahan penelitian yang dipelopori Von Koenigswald sejak tahun 1934 lambat-laun membuka mata masyarakat tentang nilai ekonomis fosil. Pengetahuan akan nilai ekonomisnya yang tinggi telah mendorong mereka menjadi pencari fosil dan penggali liar lalu memilih menjual fosil kepada kolektor daripada menyerahkannya kepada pemerintah. Praktik semacam ini sudah berlangsung puluhan tahun dan menjadi salah satu kendala dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan Situs Sangiran yang berkelanjutan.
Dari beberapa kasus di atas, tampak bahwa banyak pihak seringkali potong kompas untuk mentransformasikan warisan budaya yang bernilai kultural tinggi menjadi sumberdaya ekonomi, tanpa mengindahkan nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan yang lain. Jika memperhatikan kasus-kasus pengelolaan warisan budaya itu, problematika mendasar terletak pada persoalan penguasaan dan akses. Penguasaan berarti kemampuan untuk menentukan kegunaan dan fungsi warisan budaya, sedangkan akses adalah peluang untuk menggunakan atau memanfaatkannya. Di Indonesia, sampai saat ini, penguasaan dan penilaian warisan budaya yang tergolong BCB mutlak menjadi otoritas pemerintah atau arkeologi-pemerintah, seperti yang nampak dari bunyi dan penjelasan pasal-pasal UU 5/92 tentang Benda Cagar Budaya dan PP No. 10 tahun 1993 (PP 10/93).
UU 5/92 dan PP 10/93 telah memberi porsi yang besar bagi pemerintah untuk menguasai dan mengakses BCB. Dalam kedua perangkat hukum tersebut sudah ditegaskan bahwa semua BCB yang berada di wilayah hukum Republik Indonesia dikuasai oleh negara dalam arti bahwa negara pada tingkat tertinggi berhak menyelenggarakan pengaturan segala perbuatan hukum berkenaan dengan pelestarian BCB (pasal 3 UU 5/92; pasal 4,5, dan 6 Keputusan Mendikbud No 062/U/1995). Hal ini telah mendorong pemerintah menjadi satu-satunya pihak yang paling berhak atas BCB, baik dalam pelestarian maupun pemanfaatannya. Hal ini membuat mereka menjadi sangat ekslusif sehingga seolah tidak ada ruang bagi masyarakat untuk mengakses BCB. Padahal fakta menunjukkan bahwa pemerintah kewalahan menangani BCB yang seabrek. Buktinya banyak BCB yang terbengkalai, tak terawat, tak terperhatikan, bahkan tak sedikit yang raib entah ke mana.
Sebenarnya setiap orang dapat memiliki dan menguasai BCB tertentu, dalam arti melaksanakan pengelolaan, pengampuan, atau tindakan sejenis, dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan pemanfaatannya bagi kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, serta pelestariannya. Pemilikan dan penguasaan BCB oleh perorangan, sampai saat ini, masih dikontrol sangat ketat oleh negara, karena negara terlebih dulu harus menilai tentang arti penting BCB tersebut dan setelah itu harus didaftar pada negara (pasal 4-12 PP 10/93). Tidak heran jika banyak orang atau pihak yang keberatan jika barang/bangunan/kawasan miliknya dijadikan BCB. Contoh yang paling mengemuka ke publik adalah penolakan masyarakat Bali ketika Pura Besakih hendak dimasukkan ke dalam kategori BCB. Mereka khawatir, jika Pura Besakih menjadi BCB justru mereka menjadi “terpisah” dengan bangunan sucinya. Mengenai penentuan status dan nilai penting ini sungguh sangat problematik, karena sampai saat ini belum ada pedoman yang jelas.
Kiranya sudah waktunya kita belajar dari kasus-kasus pengelolaan warisan budaya, khususnya Trowulan. Dengan membuka mata lebar-lebar diharapkan dapat tumbuh kesadaran di attara kita bahwa warisan budaya itu sarat akan kepentingan. Kesadaran akan adanya beragam kepentingan yang melekat pada warisan budaya telah mendorong para ahli arkeologi di berbagai belahan dunia untuk mengembangkan bagaimana cara mengelola warisan budaya yang baik dan akomodatif terhadap beragam kepentingan. Mengapa Indonesia belum juga tergugah?
Beberapa Alternatif
Belajar dari kasus, menurut saya, pelestarian dan pemanfaatan warisan budaya dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, mengembalikan kepada kondisi awal agar dapat diketahui nilai-nilai asli yang dikandung. Kedua, memperbaiki kondisi yang ada agar nilai-nilai kultural dan historisnya dapat diapresiasi oleh pengamat pada masa kini. Ketiga, menyiapkan setting baru agar dapat mengapresiasikan dirinya sesuai dengan jamannya.
Cara pertama dapat dikatakan sudah biasa dilakukan oleh pemerintah, terutama terhadap objek monumen mati seperti candi melalui proyek pemugaran. Sangat berbeda dengan cara pertama, kedua cara lainnya dapat dikatakan lebih sulit. Selain harus mempertahankan keaslian, cara kedua dan ketiga harus didahului oleh studi yang komprehensip untuk mengungkap terlebih dahulu nilai-nilai kultural dan historis serta kepentingan-kepentingan publik sekarang.
Niat baik pemerintah untuk mengangkat kebesaran Majapahit agar seluruh bangsa ini tahu bahwa kita mewarisi kerajaan besar tidak perlu diragukan. Sayangnya, dari carut-marut masalah dan isu-isu liar yang berkembang dari Trowulan, saya yakin bahwa masterplan PIM tidak disusun di atas konsep yang jelas.
Menyelami Diri
(Sangatta, 13 Februari 2009)Menyelami dasar laut itu mudah.
Yang sulit adalah menyelami diri sendiri.
Perilaku jelek kita kadang dianggap baik orang lain.
Sebaliknya niat baik kita seringkali dianggap tidak benar oleh orang lain.
Aku jadi membayangkan bahwa hidup kita itu seperti laba-laba.
Memintal sendiri benang, lalu hidup dan tergantung dalam jalinan benang yang kubuat.
Bahkan aku bisa jadi mati di situ.
Akhirnya kita terikat nilai dan norma yang kita buat sendiri.
Karena terlalu banyak simpul, kadang kita lupa pada nilai-nilai itu.
Ini juga terjadi pada aturan-aturan main di negeri kita.
BMKT diatur, tapi bukannya lebih baik, yang terjadi justru berantem di antara pemangku kepentingan.
Dan aku, sebagai laba-laba kecil yang baru saja terikat dan mulai belajar merayap, MENJADI KORBAN.
Aku diacuhkan teman-temanku ku sendiri karena dianggap membela penjahat.
Sementara teman-temanku yang lain justru menganggap aku sebagai pahlawan.
Semuanya adalah jaring-ku. Baik yang ini maupun yang itu.
Aku sudah terjerat dalam jalinan-jalinan itu.
Sulit untuk keluar.
Tapi tetap aku harus belajar.
Agar menjadi laba-laba yang tangguh dengan jaring yang kupintal sendiri. Bukan yang dipintal orang lain. Bukan pula yang dipintal oleh teman-temanku.
Aku akan tetap menyelami wreck dan menyelami diri sendiri.
Karena itu sudah menjadi hidupku.
Bidadari Malam
(Yogyakarta, Februari 2008)
Di bawah pengaruhmu, ada semacam spirit yang belum aku mengerti
Sebenarnya hampir mengerti, tapi ada ketakutan untuk menafsirkannya.
Sebagian kecil sudah aku ungkapkan
Sebagian besar lainnya masih terpendam di dalam sana.
Masih sangat dalam.
Sulit untuk digali meski aku seorang arkeolog...
Apakah aku harus membiarkannya terkubur???
warisan budaya untuk semua
Pengelolaan warisan budaya di Indonesia yang dimonopoli pemerintah mengakibatkan terciptanya iklim yang kurang kondusif, terutama bagi kepentingan masyarakat. Kepentingan yang diamksud di sini terutama terkait dengan akses, informasi, dan identitas. Masalah Borobudur, Dieng, Tamansari, Pura Besakih, arca-arca Radya Pustaka yang dipalsukan, Situs Trowulan (Majapahit), dan masalah-masalah yang lain, saya yakin terkait dengan ketiga hal di atas. Karena itu, sudah saatnya kita menerapkan etika pengelolaan warisan budaya yang dapat memfasilitasi komunikasi dan partisipasi masyarakat, mengakomodasi kepentingan dan nilai yang berbeda, serta mempunyai prediksi jauh ke depan, sehingga dapat bermanfaat bagi banyak pihak.