Sunday, February 15, 2009

Petualangan

Mendaki Gunung, Siapa Takut?

Oleh: Jajang A. Sonjaya
Dimuat dalam Harian Kedaulatan Rakyat


Bila kita berdiri di puncak sebuah gunung, pernahkah terpikir untuk tidak kembali ke bawah?
Itulah hidup, kadang di atas kadang di bawah.
Apa yang dilalui dalam petualangan kita,
jadikanlah sebagai pedoman dalam berfikir dan bertindak.

Itulah tanda bahwa kita tidak mensia-siakan hidup,cap yang selalu diberikan pada kita: petualang.


Tahun 1995, menjelang upacara kemerdekaan di Puncak Ciremai, seorang teman pamit turun duluan. Ketika dua hari kemudian saya turun gunung, orang tua yang pamit tadi sudah menunggu di Palutungan, salah satu desa terakhir menuju puncak. Mereka menanyakan mengapa anaknya belum juga pulang.

Delapan hari kemudian, anak itu ditemukan tergeletak di antara bongkahan-bongkahan batu di dasar kawah Ciremai yang dalamnya mencapai 200-an meter. Tubuhnya menggelembung dan membiru. Beberapa bagian kulitnya melepuh terkena sengatan matahari selama berhari-hari. Rupanya ia terpeleset sewaktu jalan di pinggir kawah menuju jalur turun lewat Linggarjati.

Lalu 9-14 Februari 2001, kejadian cukup tragis menimpa lima pendaki Yogya di Gunung Slamet. Kecelakaan itu cukup mengguncangkan dunia pendakian. Tak hanya di Jawa Tengah dan Yogyakarta, tapi juga di seluruh tanah Jawa. “Mengapa bisa terjadi?” dan “mengapa harus sebanyak itu nyawa melayang?” demikian pertanyaan yang selalu saya terima, baik lewat e-mail atau ketika ketemu teman-teman lama. Belum juga musibah Slamet hilang dari ingatan, satu lagi pendaki ditemukan tewas pada tanggal 19 Agustus 2002 di lereng selatan Merapi. Namanya turut menambah sederet korban meninggal di Gunung.

Banyaknya korban meninggal di Gunung, karuan saja membuat para orang tua mengkhawatirkan anaknya terjun ke dunia petualangan yang satu ini. Tak sedikit pula mahasiswa atau pelajar yang mengurungkan niatnya atau berpikir dua kali untuk masuk ke organisasi pecinta alam. Bahkan tak cuma itu, belakangan banyak pertanyaan sinis dilontarkan pada para pendaki, “ngapain naik gunung, apa sih yang dicari?”

Wajar bila muncul pertanyaan semacam itu. Seberapa kecilnya bahaya di gunung, memang ada. Selain mereka yang menyukai tantangan, siapa sih yang mau mendekati bahaya? Puncak yang tinggi menjulang, suhu yang dingin, badai, hujan, hutan yang lebat, jurang-jurang yang terjal, gas beracun, merupakan bahaya yang biasa dijumpai di gunung. Ragam bahaya itu justru menjadi daya tarik bagi mereka yang memiliki ketangguhan fisik dan keberanian.

Untuk gunung-gunung tropis, selain Pegunungan Jaya Wijaya di Papua, bahaya di gunung sebenarnya tidaklah tinggi seperti yang dipikirkan banyak orang. Bahaya itu bisa ditekan bahkan ditepis, cukup dengan bekal pengetahuan dan keterampilan. Manajemen pendakian, nevigasi, perlengkapan-perbekalan, medical practice, survival, adalah pengetahuan dan keterampilan yang mutlak harus dikuasai para pendaki. Selain itu, pendaki gunung juga perlu dibekali keterampilan pendukung, seperti cara memasak praktis, cara berjalan, cara berpakaian yang adaptif dengan lingkungan, cara menjaga tubuh agar tetap bugar, hingga cara memotret.

Semua itu bisa didapatkan dengan cara belajar sendiri. Sebagian orang ada yang mendapatkannya dengan menimba ilmu dari organisasi pecinta alam dan sejenisnya. Dalam menerima anggota, organisasi semacam ini biasanya menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan berupa teori dan praktek di lapangan. Mendaki gunung, umumnya menjadi materi pokok dalam kegiatan ini. Selanjutnya, pengetahuan seseorang dalam hal mendaki gunung dengan sendirinya akan ditempa melalui pengalaman langsung di lapangan.

Kenyataan yang ada di gunung-gunung seperti Slamet, Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro, dan Lawu, setiap malam minggu atau musim libur, isinya hanya sebagian kecil saja yang benar-benar pendaki. Kebanyakan dari pendaki itu adalah para ‘pengebut semalam’ –yang hanya mendaki satu malam saja. Di punggungnya hanya tersangkut tas kecil yang isinya bisa ditebak: perlengkapan yang jauh dari memadai dan bekal makanan yang pas-pasan.

Bagaimana tubuh bisa bertahan di gunung jika makanan pas-pasan dan tidak membawa alat masak? Bagaimana bisa mempertahankan suhu tubuh jika tidak mengenakan pakaian hangat dan kantong tidur yang layak? Bagaimana bisa melakukan pertolongan pertama pada rekan atau diri sendiri ketika terserang sakit atau mendapat kecelakaan jika mengabaikan medical kit? Bagaimana orang lain tahu kita mendapat kesulitan di gunung jika bawaan kita tidak dilengkapi alat komunikasi? Bagaimana bisa melepaskan diri dari ketersesatan jika tidak dibekali pengetahuan dan alat navigasi? Bagaimana bisa bertahan hidup di gunung jika tidak mempunyai keterampilan bertahan hidup di alam bebas? Bagaimana bisa menahan dingin dan terpaan angin jika tidak membawa tenda? Bagaimana bisa mempertahankan kesadaran jika kepala tidak mengenakan Kupluk/balaclava?

Mendaki pada malam hari adalah suatu bahaya yang sengaja diciptakan. Saat jalan malam, energi pendaki tidak hanya habis untuk melewati tanjakan-tanjakan yang terjal, tapi juga terkuras untuk melawan dingin. Belum lagi tarikan nafas harus berebut oksigen dengan tumbuhan. Pada malam hari, tumbuhan menghirup oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Makanya, hidung selalu mengeluarkan ingus dan sulit sekali mengambil nafas. Lubang hidung rasanya tinggal selubang jarum.

Saat jalan malam, pendaki biasanya enggan mengenakan pakaian hangat atau penutup kepala, karena saat itu memang tubuh terasa panas dan banyak mengeluarkan keringat. Padahal, angin dan suhu di gunung jika dibiarkan menerpa tubuh dan kepala akan menyebabkan suhu tubuh menurun, juga suplai oksigen ke otak akan terganggu. Akibatnya, selain menggigil kedinginan, pendaki tersebut kesadarannya akan menurun atau bahkan hilang. Tak heran jika banyak orang di gunung yang terkena halusinasi atau bertingkah yang aneh-aneh. Bisa jadi jurang disangkanya jalan setapak, atau hembusan angin dikiranya suara air terjun. Hal-hal seperti itu biasa dialami orang di gunung jika tingkat kesadaran mereka menurun.

Seorang teman, ketika mendaki Gunung Slamet, tiba-tiba menyodorkan uang pada sebatang pohon. Yang ada dalam bayangannya, pohon itu adalah warung rokok. “Beli rokoknya, Bang!” katanya setengah berteriak. Setelah itu ia terkulai tak sadarkan diri.

Membawa perlengkapan standar pendakian yang seabrek dan bekal makanan untuk berhari-hari memang berat. Bayangkan bagaimana tanjakan-tanjakan tajam di gunung harus diselesaikan dengan menggendong ransel 30-an kilogram. Tapi tak masalah jika langkah kaki dan nafas bisa membentuk irama yang konstan. Perlahan dan pasti, langkah-langkah kecil dijamin bisa melalui tanjakan yang ada.

Energi pun tak akan habis, karena saatnya makan bisa memasak makanan yang bergizi, dan saat malam tiba bisa tidur dengan nyenyak di tenda. Dengan hangatnya kantong tidur dan tenda, tak ada alasan untuk membuat api unggun –yang karena lalai bisa membakar habis gunung, seperti yang sering terjadi di gunung-gunung saat musim kemarau.

Prosedur keamanan pendakian dengan sendirinya akan terpenuhi jika manajemen pribadi kuat. Bila perlu, satu pendaki satu pula tendanya, satu alat masak, beberapa paket makanan yang cukup untuk perjalanan, satu kotak P3K, dan seperangkat pakaian hangat yang memadai. Sehingga jika terpaksa terpisah dengan temannya, akan mampu bertahan hidup. Manajemen kelompok yang dibina secara ketat, justru menyebabkan saling ketergantungan satu sama lain. Akibatnya si pendaki akan menyepelekan hal-hal kecil yang biasanya akan menjadi bumerang jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan di gunung.

Dengan perlengkapan dan bekal yang memadai, pendakian minimal 3-4 hari akan menjadi petualangan yang aman dan menyenangkan. Siang bisa berjalan sembari menikmati alam yang segar, malam menjelang tidur bisa menerawang ke angkasa, menikmati kebesaran Sang Pencipta. Dari sana kita akan merasakan, bahwa mendaki gunung itu adalah seni. Bagaimana kita merencanakan pendakian, menegmas barang-barang dalam ransel yang terbatas, memasak beraneka makanan, mengontrol pemasukan dan pengeluaran pada tubuh, mencari irama langkah yang pas, mengambil keputusan-keputusan yang mendadak dan rumit, akan menjadi kegiatan yang tidak saja memberi kepuasan, tapi juga membentuk pribadi yang tangguh. Nikmatnya mendaki gunung tidak hanya ketika kaki berdiri di puncak, tapi sejak merencanakan, mempersiapkan, berjalan, hingga pulang dengan selamat.

Dengan begitu, tak ada alasan untuk meninggal di gunung. Tak ada pula alasan untuk takut mendaki. Dari berbagai kecelakaan yang terjadi di gunung, diharapkan dapat menumbuhkan rasa kehati-hatian dan kesadaran bahwa mendaki bukan sekedar hobi yang main-main. Mendaki gunung tak bisa hanya mengandalkan kekuatan fisik semata. Bekal wawasan, pengetahuan, dan keterampilan mendaki gunung, perlu dimiliki oleh para pendaki.

Cermin Retak Pengelolaan Benda Cagar Budaya


Oleh: Jajang Agus Sonjaya, M.Hum.
Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat

Tanggal 19 Februari 2005 Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP) UGM menggelar diskusi seputar pelestarian dan pemanfaatan Benda Cagar Budaya (BCB). Topik tersebut sebenarnya sudah sering diangkat dalam diskusi, seminar, lokakarya, dan semacamnya. Namun diskusi yang dilakukan kali ini lain dari yang lain. Peserta diskusi berasal dari berbagai kalangan yang berkepentingan dengan BCB, yakni dari unsur pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Pemerintah diwakili oleh Balai Arkeologi Yogyakarta, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) DIY, BP3 Jawa Tengah, BP3 Jawa Timur, serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur. Akademisi diwakili oleh beberapa arkeolog, antropolog, arsitek, dan mahasiswa. Adapun masyarakat diwakili oleh LSM.

Dalam diskusi tersebut, 32 orang yang hadir punya hak yang sama untuk mengisahkan pengalaman dan mengeluarkan gagasan seputar pelestarian dan pemanfaatan BCB. Sebuah cermin besar diletakkan di arena diskusi. Cermin itu dipakai sebagai media refleksi terkait dengan pengelolaan BCB selama ini. Apa yang sudah dilakukan terhadap BCB? Mengapa pelestarian dan pemanfaatan BCB selalu dipertentangkan dan seringkali berbuah konflik? Mengapa masih saja terjadi sekat-sekat di antara pihak pengelola BCB? Mengapa masyarakat masih kesulitan mengakses manfaat BCB? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu pun mengalir begitu saja, keluar dari mulut praktisi, rekan-rekan LSM, dan para ahli. Namun semua peserta diskusi nampak terperangah ketika dihadapkan pada pertanyaan bodoh yang tak sengaja terlontar hampir di akhir diskusi: apakah sebenarnya BCB itu?

Pertanyaan itu sederhana. Tapi jadi aneh ketika para pakar dan praktisi pelestari BCB mempunyai perspektif yang berlainan terhadap objek yang digelutinya. Perbedaan perspektif tersebut jelas akan berdampak pada perlakuan kita pada BCB. Persoalan Jagad Jawa di Borobudur, sengketa tanah di Situs Dieng, gardu pandang di Sangiran, pengembangan pariwisata Candi Plaosan, revitalisasi Taman Sari, dan alih fungsi Ambarukmo, merupakan beberapa cermin retak yang memperlihatkan betapa perbedaan perspektif itu telah menimbulkan kebingungan-kebingungan para pihak yang terkait dengan pengelolaan BCB.

Selama ini pemerintah dan sebagian besar dari kita memandang BCB sebagai sumberdaya. Laiknya sumberdaya alam, BCB pun bisa dieksploitasi untuk berbagai kepentingan. Di dalam UU 5/1992 tentang BCB memang disebutkan bahwa BCB yang merupakan benda buatan manusia yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dapat dimanfaatakan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Dengan begitu menjadi jelas, bahwa BCB adalah sebuah entitas atau wujud yang diperlakukan betul-betul sebagai ‘benda mati’.

Realitas itu ternyata sangat berbeda dengan pemahaman sebagian besar peserta diskusi. Mereka memahami BCB lebih sebagai sebuah simbol yang memiliki ragam makna ketimbang hanya sebagai benda mati semata. Selain BCB itu memiliki nilai sejarah dan kultural yang melekat pada dirinya, ia juga selalu dimaknai berbeda dari generasi ke generasi, karena pada hakekatnya BCB adalah sebuah warisan budaya. Bahkan dalam satu generasi, makna tersebut bisa sangat beragam. Di sinilah ironisnya. Di dalam hati para pihak mengakui bahwa BCB itu kaya makna, namun dalam prakteknya mereka tak menyadari bahwa BCB tersebut telah dieksploitasi untuk kepentingan-kepentingan ekonomi semata.

Borobudur, misalnya, diperlakukan pemerintah sebagai monumen mati (dead monument) dalam pengertian bahwa BCB tersebut telah ditinggalkan oleh pembuat dan masyarakat pendukungnya. Ketika Candi Borobudur divonis sebagai monumen mati, maka UU 5/1992 dan PP 10/1993 sebenarnya tidak memperbolehkan BCB tersebut digunakan untuk kegiatan keagamaan. Kaum Budhis cukup kesulitan ketika hendak menjadikan Candi Borobudur untuk kegiatan mereka. Namun di sisi lain, karena BCB tersebut dipandang sebagai sumberdaya, pemerintah tak ragu untuk menjadikan BCB sebagai ‘mesin’ yang dapat menghasilkan uang, yakni melalui sektor pariwisata. Nilai kultural dan kesakralan Borobudur pun tenggelam di antara hiruk-pikuk pedagang asongan, tertimbun ratusan kakilima, dan samar tertutup hotel mewah yang dibangun pihak pengelola.

Hal demikian terjadi pula di Dieng. Karena pendapatan dari Dieng begitu menggiurkan, maka Dieng pun menjadi barang rebutan dua kabupaten. Sementara keduanya saling berebut, BCB di Dieng pun terbengkalai. Arca-arca sering dicuri, batu-batu candi banyak yang hilang, bahkan situsnya sendiri sudah disulap menjadi taman dan lahan pertanian. Pemerintah seolah lupa bahwa Dieng adalah tempat sakral bagi sebgian besar pemeluk agama Hindu. Pemerintah juga tidak mengindahkan upaya-upaya yang dilakukan para spiritualis Kejawen yang berusaha menghidupkan kembali nilai-nilai spiritualis candi-candi dan BCB lainnya di Dieng. Pemerintah juga menutup mata atas upaya masyarakat setempat untuk menjadikan Situs Dieng sebagai pusat kegiatan kebudayaan.

Candi Plaosan adalah salah satu cermin lainnya. Candi yang sudah menghabiskan uang milyaran untuk pemugaran dan pemeliharaannya, bagi masyarakat di sekitarnya ternyata justru “mung kanggo sawangan thok”. Bahkan pemugaran yang dilakukan oleh BP3 justru dianggap masyarakat telah menurunkan pamor Candi Plaosan yang tadinya wingit menjadi tidak wingit. Upaya pengembangan pariwisata yang sudah dirintis pun di mata masyarakat justru menjadi momok. Mereka takut digusur seperti tetangga dan saudara mereka di Prambanan. Belum juga ada kesepahaman, Diparta Klaten kini telah memasang pegawainya yang bertugas untuk menarik retribusi pengunjung di gerbang masuk Candi Plaosan.

Pemerintah secara sepihak seringkali potong kompas untuk mentransformasikan BCB yang bernilai kultural tinggi menjadi sumberdaya ekonomi, tanpa mengindahkan nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan yang lain. Sebagai sebuah karya manusia, BCB bukanlah merupakan wujud yang mati, melainkan memiliki nilai-nilai tertentu dan mencerminkan gagasan dari masyarakat pendukungnya di masa lalu. Nilai-nilai tersebut merupakan modal karena dapat diambil hikmahnya untuk pegangan generasi-generasi penerusnya. Demikian pula ketika BCB itu pindah kepemilikan ke generasi berikutnya, maka pemaknaannya pun mengalami perubahan sesuai dengan konteks sosialnya. Jadi, letak sumberdaya bukan pada bendanya, tapi pada manusia yang memaknainya.

Dari pemahaman akan arti BCB tadi, menurut saya, pelestarian dan pemanfaatan BCB dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, mengembalikan kepada kondisi awal agar dapat diketahui nilai-nilai asli yang dikandung. Kedua, memperbaiki kondisi yang ada agar nilai-nilai kultural dan historisnya dapat diapresiasi oleh pengamat pada masa kini. Ketiga, menyiapkan setting baru agar dapat mengapresiasikan dirinya sesuai dengan jamannya.

Cara pertama dapat dikatakan sudah biasa dilakukan oleh pemerintah, terutama terhadap objek monumen mati seperti candi melalui proyek pemugaran. Sangat berbeda dengan cara pertama, kedua cara lainnya dapat dikatakan lebih sulit. Selain harus mempertahankan keaslian, cara kedua dan ketiga harus didahului dengan studi yang komprehensip untuk mengungkap terlebih dahulu nilai-nilai kultural dan historis serta kepentingan-kepentingan publik sekarang.

Apabila kita benar-benar mau bercermin pada kasus Borobudur, Dieng, Plaosan, dan lain-lain, sebenarnya upaya pelestarian pemanfaatan BCB jauh akan lebih mudah. Sebelum upaya-upaya pelestarian dan pemanfaatan BCB dilakukan, semua pihak yang terkait (pemerintah, akademisi, dan masyarakat) hendaknya sama-sama memahami terlebih dahulu bahwa BCB bukanlah sumberdaya yang bisa diperlakukan sekehendak hati. Perspektif inilah yang diharapkan mampu mengakomodasi beragam kepentingan dalam pengelolaan BCB sehingga bisa bermanfaat bagi sebanyak mungkin pihak.

Berburu Situs Goa, Temukan Jejak Harimau*

Jajang Agus Sonjaya**

* Artikel di Harian Kompas:

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0207/19/iptek/berb33.htm

TAK disangka, goa yang seharian dicari nyatanya hanya lorong sempit di sebuah lereng terjal. Rasanya tidak sepadan dibanding perjalanan yang telah ditempuh naik-turun bukit, menapaki bebatuan kapur, menyeberang sungai, dan menerabas semak-belukar. Belum lagi terik Matahari di tengah hamparan tanah tandus dan gersang, sengatannya menguras habis keringat.

Begitulah arkeologi, dunia yang akrab dengan pencarian dan petualangan. Kami, arkeolog muda bersama beberapa mahasiswa, hampir dua tahun ini berkutat dengan pencarian situs-situs goa di Pegunungan Seribu. Kawasan yang menjadi bagian dari Pegunungan Selatan Jawa tersebut, merupakan hamparan karst, membentang dari mulai Muara Kali Opak (Gunung Kidul) di bagian barat hingga Teluk Pacitan di bagian timur sepanang 85 km. Lebar maksimum 30 km, dengan luas wilayah keseluruhan 1.300 km2.

Pencarian goa tersebut merupakan bagian dari Penelitian Terpadu Kawasan Arkeologis (PTKA) Gunung Kidul, Jurusan Arkeologi UGM. Karena sifatnya eksploratif, maka pencarian dilakukan untuk mendapat sebanyak mungkin goa di Pegunungan Seribu bagian barat. Bentang alam yang terdiri lembah-lembah sempit dan gugusan bukit kapur berbentuk kerucut dan kubah ini, dalamnya penuh rongga. Beberapa di antaranya ada yang memiliki lubang penghubung ke luar. Itulah yang disebut goa.

Di Gunung Kidul jumlahnya diperkirakan mencapai ribuan. Goa itu ada yang sempit, lebar, vertikal, horizontal, miring, atau hanya berupa ceruk. Sementara yang dicari arkeolog adalah goa-goa yang memiliki indikasi sebagai goa hunian manusia prasejarah. Cirinya antara lain memiliki permukaan datar, bermulut, dan beruang lebar, kering (tidak lembab apalagi berair), serta ventilasi dan pencahayaan bagus.

Langkah pencarian diawali dengan mendata goa-goa yang dikenal penduduk dengan cara menanyakan ke dusun-dusun. Mereka biasanya membedakan goa menjadi song dan luweng. Song digunakan untuk menamai goa horizontal dengan ruangan yang lebar. Ceruk yang lebar kadang disebut juga song. Sedangkan luweng digunakan untuk menyebut goa vertikal yang dalam. Dari situ jadi agak jelas, yang dicari adalah song, karena kecil kemungkinan leluhur kita mau tinggal di luweng. Namun, belum tentu juga setiap song layak huni, karena selain harus memperhatikan morfologi goa, juga harus dilihat apakah lingkungan sekitar goa mendukung bagi kehidupan manusia arkhais, seperti tersedianya sumber air.

Berbekal data itu, kami pun melakukan pencarian. Berhubung Gunung Kidul hanya 40 km di tenggara Yogyakarta, kami biasanya berangkat dari kampus. Paling tidak sekali dalam seminggu, berangkat pagi pulang malam. Namun, tidak jarang pula kami menginap di rumah penduduk hingga seminggu lamanya. Belum genap dua tahun, sedikitnya seratus goa sudah didatangi dan dipetakan. Seratus goa didapat, seratus kisah pula mengisi memori kami. Sungguh senang rasanya bila menemukan goa-goa bernilai arkeologis. Namun, goa-goa sempit dan terjal lebih banyak mengisi daftar penemuan kami.

***

Di penghujung Maret 2002, ketika mencari Goa Pelawan, kami menemukan sesuatu yang sungguh tak terduga. Bertolak dari keterangan penduduk yang mengaku pernah menemukan kapak batu di depan sebuah goa di kawasan hutan Wanagama, kami pun bersemangat mencarinya. Seharian kami menerabas hutan mencari goa itu, tidak juga ketemu. Padahal lokasi yang ditunjukkan penduduk sudah sangat jelas. Jadi kami terlalu percaya diri untuk tidak meminta mereka menemani. Karena tidak juga ketemu, akhirnya kami mencari dusun terdekat untuk mencari orang yang bisa menunjukkan tempatnya.

Berbekal parang dan arit, dua orang penduduk mengantar kami mencari goa itu. Dengan parang, kami lebih mudah menerabas semak. Kurang dari satu jam, akhirnya kami sampai pada sebuah gundukan semak, tidak jauh dari aliran Kali Oyo, sungai terpanjang dan terlebar di Gunung Kidul. "Niko song ipun (itu goanya)", tunjuk salah seorang pengantar. Setelah membabat, kami baru yakin bahwa itu sebuah goa. Mulut goa ternyata sempit. Meskipun sangat kecil kemungkinan goa itu dijadikan tempat hunian manusia, mengingat sudah jauh-jauh datang ke situ, penasaran juga pengen memasukinya.

Setelah merangkak beberapa meter, ruangan goa ternyata lebar. Di salah satu sisinya ada lorong kecil, dua orang rekan lalu memasukinya. Sementara saya bersama seorang rekan lain menyelidiki setiap sudut ruangan yang lebar itu, tentunya dengan bantuan senter. Ornamen goa lumayan juga. Beberapa stalaktit sudah sampai menyentuh tanah membentuk sebuah tiang, salah satu tanda kalau umur goa itu sudah sangat tua. Lagi serius mengamati permukaan tanah goa, kami tersentak karena menemukan bekas cakaran binatang... Tampaknya masih sangat baru.

"Wah, jangan-jangan..", kami tak berani meneruskan. Kami sangat khawatir dengan dua orang rekan yang sudah telanjur masuk ke lorong sempit itu. Untungnya, tidak lama mereka muncul. Kami cuma bisa ngasih kode "Ssssst." Dengan perlahan namun pasti, kami merangkak untuk keluar dari ruang bawah tanah itu.

Di depan goa, penduduk yang mengantar kami masih berdiri. Mereka kelihatan tegang, parang dan arit belum dimasukkan ke sarungnya. "Wonten nopo (ada apa)?", tanya mereka penuh selidik. Setelah kami jelaskan, mereka cepat-cepat mengajak kami pulang. Di perjalanan mereka cerita, bahwa di sekitar situ sering dijumpai harimau. Penduduk menyebut raja hutan itu Si Mbah. Jenis satwa langka itu memang tergolong keramat, penuh misteri. Mereka sangat yakin bahwa Goa Pelawan dipakai untuk sarang harimau. Kedua pengantar itu selama hidupnya, katanya, tidak pernah masuk Goa Pelawan, karena tidak berani pada Si Mbah yang dianggapnya sebagai binatang jadi-jadian.

Rekan-rekan yang berburu goa di daerah Kecamatan Ponjong, mendapat keterangan bahwa ada beberapa harimau yang sering turun masuk perkampungan mencari makan. Bahkan harimau itu tidak segan menggali kuburan baru, lalu menyeret mayat ke sarangnya. Goa-goa di perbukitan daerah Bedoyo, diyakini penduduk sebagai sarang harimau. Ketika goa tersebut disurvei, bentuknya mirip Gua Pelawan.

***

Keyakinan penduduk akan adanya harimau di daerahnya, tampak sekali ketika terjadi kematian. Tempat bekas memandikan jenazah mereka jaga beberapa malam, jangan sampai dilangkahi, apalagi dijilat, oleh Macan Gembong, sebutan lain untuk harimau. Karena jika sampai kejadian, maka jenazah yang sudah dikubur, menurut kepercayaan mereka, akan menjadi santapan makhluk yang dianggap gaib itu. Mereka yang mengaku pernah melihatnya, menggambarkan harimau itu bertubuh besar dan berkulit loreng, langkahnya sangat tenang dan meninggalkan jejak telapak kaki di tanah.

Terlepas dari kebenaran cerita yang berbau mistis itu, sebuah LSM pemerhati lingkungan di Yogyakarta pernah melakukan pengintaian terhadap harimau di Gunung Kidul. Jenis kucing besar itu memang masih tersisa beberapa di perbukitan kapur, bersembunyi di goa-goa. Tampaknya predator itu terpaksa turun kampung, karena hutan tempat ia hidup habis dibabat, sehingga hutan yang kini gersang, tidak bisa menyediakan lagi makan bagi mereka.

Kami memang belum pernah melihat sendiri adanya harimau itu. Namun, bahwa harimau pernah hidup di Gunung Kidul, kami bisa membenarkan. Saat dilakukan ekskavasi (penggalian arkeologis) di Song Blendrong, Song Agung, dan Song Bentar yang berada di daerah perbatasan Ponjong dan Wonogiri pada bulan April 2002, ditemukan banyak data tentang fauna. Di ketiga goa itu ditemukan ribuan fragmen tulang, ratusan gigi, puluhan kuku binatang, dan beberapa tanduk.

Hasil identifikasi dan analisis yang dilakukan hingga saat ini, memberi gambaran bahwa gajah, banteng, rusa, babi hutan, monyet, landak, dan harimau, pernah hidup di Gunung Kidul. Tinggalan itu ditemukan bersama dengan tulang-tulang manusia berikut artefaknya, seperti perkakas yang terbuat dari batu dan tulang yang sudah dikeraskan dengan cara dibakar. Temuan itu sungguh berharga bagi perbincangan dinamika prasejarah Pegunungan Seribu yang sudah dikenal di seantero jagad.

Sayangnya, umur dari temuan itu belum diketahui secara pasti, karena masih dalam proses analisis laboratorium. Tapi paling tidak, pada waktu ketika berbagai fauna itu hidup, kondisi lingkungan Pegunungan Seribu tidaklah gersang seperti sekarang. Karena syarat hidup fauna, khususnya yang tergolong bertubuh besar, adalah wilayah hijau yang mampu menyediakan banyak makanan.

Pencarian situs goa ini tak akan berakhir sebelum menjamah setiap sudut karst Gunung Kidul. Penemuan goa yang layak huni, biasanya akan ditindaklanjuti dengan melakukan penggalian untuk mengetahui potensi arkeologisnya. Penelitian situs goa di Pegunungan Seribu selama ini kebanyakan dilakukan di Kabupaten Pacitan. Sementara di Gunung Kidul belum banyak disentuh. Padahal, perburuan situs goa ini harus berpacu dengan aktivitas penambangan rakyat yang makin marak di Gunung Kidul. Entah sudah berapa bukit dan goa lenyap diambil kapurnya. Belasan goa yang bernilai arkeologis hancur diambil fosfat dan kalsitnya. Sementara puluhan goa lainnya sudah mulai terancam.


MENULIS ILMIAH POPULER

Oleh: Jajang A. Sonjaya (Ama Robi Hia)


Apa itu tulisan ilmiah populer?

Tulisan ilmiah adalah tulisan yang berisi deskripsi, analisis, dan interpretasi atas suatu fakta yang didasarkan pada kerangka pikir ilmu tertentu dengan kaidah-kaidah (metode) ilmu tertentu sehingga pembacanya terbatas; sedangkan tulisan populer adalah tulisan yang dapat dibaca oleh orang awam. Jadi, tulisan ilmiah populer adalah tulisan ilmiah yang dikemas untuk orang awam.

Tulisan ilmiah populer adalah media untuk mengkomunikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan masyarakat (orang awam) secara timbal-balik.

Tulisan ilmiah populer bukanlah suatu tulisan hasil penelitian yang lengkap, melainkan tulisan yang unik dan cerdas, serta menggugah rasa ingin tahu pembaca awam sehingga ia mau membaca utuh untuk mengerti dan memahaminya.

Mengapa arkeolog perlu menulis ilmiah populer?

Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh manusia. Tinggalan arkeologi tidak hanya menunjuk pada budaya bendawi yang ditinggalkan manusia dari masa lalu, melainkan pula untuk semua jejak di luar budaya bendawi yang menunjukkan sisa-sisa aktivitas manusia. Biji padi, arang, tulang-tulang binatang, dan sisa-sisa makanan dapat disebut sebagai tinggalan arkeologi. Yang demikian itu dikenal dengan istilah ekofak. Demikian pula lubang-lubang di tanah yang tercipta karena aktivitas manusia dapat dikategorikan tinggalan arkeologi. Yang demikian itu dikenal dengan istilah fitur. Tinggalan arkeologi merupakan data utama bagi arkeolog untuk menafsirkan kebudayaan. Dari data itulah arkeolog bisa merangkai cerita tentang kebudayaan manusia, baik cerita tentang sejarah kebudayaan, rekonstruksi cara-cara hidup, maupun proses perubahan kebudayaan.

Lembaga-lembaga arkeologi, baik di perguruan tinggi maupun pemerintahan, memiliki data, laporan-laporan, dan koleksi yang sangat kaya yang hanya tersimpan di lemari, meja, dan gudang. Jangan salahkan masyarakat awam jika mereka tidak peduli atau merusak warisan budaya karena ketidaktahuan. Tulisan ilmiah populer karya arkeolog sangat dinanti sebagai jembatan yang menghubungkan pengetahuan para arkeolog dan masyarakat.

Tulisan ilmiah arkeologi umumnya hanya diperuntukkan bagi arkeolog semata dan ilmu-ilmu terkait yang sangat terbatas sifatnya sehingga fakta dan interpretasi yang disajikan ibarat “masih terpendam di dalam tanah”.

Tulisan ilmiah pupuler adalah media yang strategis bagi arkeolog untuk benar-benar mengungkap fakta arkeologi dan interpretasi ke atas permukaan sehingga bisa diketahui dan dipahami publik.

Untuk arkeolog yang bergerak di bidang pelestarian, tulisan ilmiah populer menjadi lebih strategis karena dapat digunakan sebagai media untuk mengungkap nilai-nilai sejarah dan budaya yang ada di balik data arkeologi sehingga dapat menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap peninggalan sejarah dan purbakala (warisan budaya).


Kepada siapa Anda menyajikan tulisan?

Seberapa dalam informasi yang akan Anda sajikan tergantung siapa pembacanya. Karya ilmiah populer di koran umum, tentu isinya lebih dangkal dibanding dengan ilmiah populer di bulletin/jurnal/majalah ilmiah. Sifat tulisan untuk pembaca umum, lebih mengedepankan unsur entertainment, dibandingkan tulisan untuk komunitas spesifik. Selain dari segi isi, karya ilmiah populer untuk komunitas spesifik terkadang masih banyak menggunakan jargon-jargon ilmiah. Hal itu sah-sah saja, sebab di sini istilah spesifik tidak akan asing lagi bagi pembacanya yang juga spesifik. Artefak terbitan HIMA salah satu contohnya, sedangkan tulisan-tulisan pada Sangsakala, Berkala Arkeologi, belum bisa dikategorikan sebagai ilmiah populer.

Media apa yang Anda pilih?

Informasi untuk di internet, televisi, koran, jurnal, atau majalah berbeda cara penulisannya. Misalnya media televisi mempunyai kelebihan dapat menampilkan gambar. Sehingga penggunaan teks jauh lebih sedikit. Namun kelemahan media ini, waktu yang tersedia jauh lebih singkat daripada media cetak. Cotoh lain, perbedaan antara media cetak dan online. Media online dengan sifat revolusioner hyperlinks-nya dapat merubah alur membaca. Kelebihan sifat link ini, Anda dapat mengarahkan pembaca kepada fokus yang Anda tuju. Berbeda dengan media cetak, misalnya buku, karakteristik membaca sifatnya linear. Anda mengarahkan pembaca melalui daftar isi.

Ketika Anda hendak menulis untuk koran, maka lingkup koran juga harus menjadi perhatian: apakah itu koran lokal atau nasional? Menulis untuk Opini Kompas tentu sangat berbeda dengan Opini Kedaulatan Rakyat. Opini Kompas memuat hal-hal yang lebih berat dan menasional dibanding Opini Kedaulatan Rakyat yang lebih ringan dan merakyat.

Kira-kira berapa lama waktu yang tersedia bagi pembaca?
Pembaca koran biasanya lebih sedikit meluangkan waktu membacanya daripada pembaca majalah, apalagi buku. Bukankah koran yang sudah seminggu dinyatakan tidak aktual lagi? Umumnya pembaca tidak mengorek-ngorek lagi koran yang sudah bertumpuk selama setahun lamanya. Semakin sedikit waktu yang tersedia, informasi yang Anda sajikan semakin pendek dan harus cepat menuju sasaran.

Membidik Pembaca: Pilih Topik Menarik

Tulisan ilmiah populer Anda dedikasikan untuk pembaca awam, bukan ahli yang memang berkecimpung di bidangnya. Posisikan diri Anda pada pembaca. Pikirkan, mengapa Anda perlu membagi ilmu Anda? Apa yang membuat pembaca dapat tertarik dengan tulisan Anda?

Beberapa cara menggelitik motivasi pembaca antara lain: (1) Mengaitkan dengan kondisi aktual, contoh: dikaitkan dengan kasus Trowulan, Kasus Radya Pustaka, Hari Purbakala, dsb. (2) membuat lead atau kepala tulisan yang menarik dan memancing pembaca; dan (3) membungkus dengan teori atau kerangka pikir yang bersifat umum, jangan spesifik.

Kiat Menulis Artikel

Apa itu Artikel?

Tulisan ilmiah populer untuk koran/majalah/bulletin/newsletter/jurnal umumnya dalam bentuk artikel.

Ada sejumlah pengertian mengenai artikel. Pertama, dalam kamus besar Bahasa Indonesia, artikel diberi batasan sebagai karya tulis lengkap, misalnya laporan berita atau esai di majalah, surat kabar, dan sebagainya. Kedua, artikel adalah sebuah karangan prosa yang dimuat dalam media massa, yang membahas isu tertentu, persoalan, atau kasus yang berkembang dalam masyarakat secara lugas (Tartono 2005: 84). Ketiga, artikel merupakan karya tulis atau karangan; karangan nonfiksi; karangan yang tak tentu panjangnya; karangan yang bertujuan untuk meyakinkan, mendidik, atau menghibur

Ada beberapa jenis artikel berdasarkan dari siapa yang menulis dan fungsi atau kepentingannya (Tartono 2005: 85-86). Berdasarkan penulisnya, ada artikel redaksi dan artikel umum. Artikel redaksi ialah tulisan yang digarap oleh redaksi di bawah tema tertentu yang menjadi isi penerbitan. Sedangkan artikel umum merupakan tulisan yang ditulis oleh umum (bukan redaksi).

Dari segi fungsi atau kepentingannya, ada artikel khusus dan artikel sponsor. Artikel khusus adalah nama lain dari artikel redaksi. Sedangkan artikel sponsor ialah artikel yang membahas atau memperkenalkan sesuatu.

Menguji Gagasan

Prinsip paling dasar dari melakukan kegiatan menulis ialah menentukan atau memastikan topik atau gagasan apa yang hendak dibahas. Penulis dari awal harus bisa membayangkan apakah gagasan itu penting bagi sejumlah besar orang? Dapatkah gagasan ini disempitkan sehingga mempunyai fokus yang tajam? Apakah gagasan itu terikat waktu? Apakah gagasan itu segar dan memiliki pendekatan yang unik? Apakah gagasan Anda akan lolos dari saringan penerbit?

Pola Penggarapan Artikel

Setidaknya ada lima pola yang bisa kita gunakan untuk menyajikan artikel. Berikut adalah kelima pola yang dimaksudkan.

  1. Pola pemecahan topik. Pola ini memecah topik yang masih berada dalam lingkup pembicaraan yang ditemakan menjadi subtopik atau bagian-bagian yang lebih kecil dan sempit kemudian menganalisa masing-masing.
  2. Pola masalah dan pemecahannya. Pola ini lebih dahulu mengemukakan masalah (bisa lebih dari satu) yang masih berada dalam lingkup pokok bahasan yang ditemakan dengan jelas, lalu menganalisa pemecahan masalah yang dikemukakan oleh para ahli di bidang keilmuan yang bersangkutan.
  3. Pola kronologi. Pola ini menggarap topik menurut urut-urutan peristiwa yang terjadi.
  4. Pola pendapat dan alasan pemikiran. Pola ini baru dipakai bila penulis yang bersangkutan hendak mengemukakan pendapatnya sendiri tentang topik yang digarapnya, lalu menunjukkan alasan pemikiran yang mendorong ke arah pernyataan pendapat itu.
  5. Pola pembandingan. Pola ini membandingkan dua aspek atau lebih dari suatu topik dan menunjukkan persamaan dan perbedaannya. Inilah pola dasar yang paling sering dipakai untuk menyusun tulisan.

Kelima pola penggarapan artikel di atas dapat dikombinasikan satu dengan yang lain sejauh dibutuhkan untuk menghadirkan sebuah tulisan yang kaya.

Menulis Bagian Pendahuluan/Lead

Untuk bagian pendahuluan, setidaknya ada tujuh macam bentuk pendahuluan yang bisa digunakan (Soeseno 1982: 42). Salah satu dari ketujuh bentuk pendahuluan berikut ini dapat kita jadikan alternatif untuk mengawali penulisan artikel kita.

Ringkasan. Pendahuluan berbentuk ringkasan ini nyata-nyata mengemukakan pokok isi tulisan secara garis besar.

Pernyataan yang menonjol. Terkadang disebut juga sebagai "pendahuluan kejutan", diikuti kalimat kekaguman untuk membuat pembaca terpesona.

Pelukisan. Pendahuluan yang melukiskan suatu fakta, kejadian, atau hal untuk menggugah pembaca karena mengajak mereka membayangkan bersama penulis apa-apa yang hendak disajikan dalam artikel itu nantinya.

Anekdot. Pembukaan jenis ini sering menawan karena memberi selingan kepada nonfiksi, seolah-olah menjadi fiksi.

Pertanyaan. Pendahuluan ini merangsang keingintahuan sehingga dianggap sebagai pendahuluan yang bagus.

Kutipan orang lain. Pendahuluan berupa kutipan seseorang dapat langsung menyentuh rasa pembaca, sekaligus membawanya ke pokok bahasan yang akan dikemukakan dalam artikel nanti.

Amanat langsung. Pendahuluan berbentuk amanat langsung kepada pembaca sudah tentu akan lebih akrab karena seolah-olah tertuju kepada perorangan.

Menulis Bagian Pembahasan atau Tubuh Utama

Bagian ini disarankan dipecah-pecah menjadi beberapa bagian. Masing-masing dibatasi dengan subjudul-subjudul. Selain memberi kesempatan agar pembaca beristirahat sejenak, subjudul itu juga bertugas sebagai penyegar, pemberi semangat baca yang baru (Soeseno 1982: 46). Oleh karena itu, ada baiknya subjudul tidak ditulis secara kaku.

Pada bagian ini, kita bisa membahas topik secara lebih mendalam. Uraikan persoalan yang perlu dibahas, bandingkan dengan persoalan lain bila diperlukan.

Menutup Artikel

Kerangka besar terakhir dalam suatu karya tulis ialah penutup. Bagian ini biasanya memuat simpulan dari isi tulisan secara keseluruhan, bisa juga berupa saran, imbauan, ajakan, dan sebagainya (Tartono 2005: 88).

Ketika hendak mengakhiri tulisan, kita tidak mesti terang-terangan menuliskan subjudul berupa "Penutup" atau "Simpulan". Penutupan artikel bisa kita lakukan dengan menggunakan gaya berpamitan (Soeseno 1982: 48). Gaya pamit itu bisa ditandai dengan pemarkah seperti "demikian", "jadi", "maka", "akhirnya", dan bisa pula berupa pertanyaan yang menggugah pembaca.

Pemeriksaan Isi Artikel

Ketika selesai menulis artikel, hal selanjutnya yang perlu kita lakukan ialah melakukan pemeriksaan menyeluruh. Untuk meyakinkan bahwa tulisan yang kita hasilkan memang baik, kita harus rajin memeriksa tulisan kita. Untuk memudahkan pengoreksian artikel, beberapa pertanyaan berikut perlu kita jawab (Pranata 2002: 129-130).

Untuk pembukaan, misalnya, apakah kalimat pembuka bisa menarik pembaca? Dapatkah pembaca mulai mengerti ide yang kita tuangkan? Jika tulisan kita serius, adakah kata-kata yang sembrono? Apakah pembukaan kita menyediakan cukup banyak informasi?

Untuk isi atau tubuh, apakah kalimat pendukung sudah benar-benar mendukung pembukaan? Apakah masing-masing kalimat berhubungan dengan ide pokok? Apakah ada urutan logis antarparagraf?

Untuk simpulan, apakah disajikan dengan cukup kuat? Apakah mencakup semua ide tulisan? Bagaimana reaksi kita terhadap kata-kata dalam simpulan tersebut? Sudah cukup yakinkah kita bahwa pembaca pun akan memiliki reaksi seperti kita?

Jika kita menjawab "tidak" untuk tiap pertanyaan tersebut, berarti kita perlu merevisi artikel itu dengan menambah, mengganti, menyisipi, dan menulis ulang bagian yang salah.

Catatan Khusus untuk Menulis Artikel di Koran

  • Pilihan tulisan untuk koran: opini, review, dan feature. Bukan berita, karena news sudah menjadi jatah wartawan media yang bersangkutan.
  • Apa yang mau ditulis? Jangan menulis klise.
  • Tulisan ilmiah populer untuk opini bersifat analitis, bukan deskriptif.
  • Tulisan ilmiah populer untuk feature, misal rubrik Nusantara (di Kompas) atau Budaya (di KR), boleh deskriptif, tapi harus menggugah rasa ingin tahu pembaca dan menyentuh perhatian publik.
  • Sampaikan satu hal dalam satu tulisan, bukan dua, apalagi tiga.
  • Yang ideal: hal baru, gagasan baru, teori baru, perspektif baru, tapi yang ideal biasanya sulit dijangkau.
  • Kata kunci: perspektif baru, bukan usang. Teori, gagasan, kejadian, …bisa lama, tapi perspektifnya harus baru.
  • Karena itu, sampaikan hal yang penting, yang signifikan. Isi, bukan kulit. Gagasan, bukan cara. Kecuali bicara soal cara atau kulit itu sendiri.
  • Beri ‘hook’–kaitkan dengan aktualita. Aktual tidak sama dengan genting. Untuk memberi perspektif ilmiah atas yang genting/mendesak, media biasanya sudah mempunyai daftar orang pilihan. Ini bukan jatah pemula/penulis yang belum dikenaloleh media, tapi tidak ada salahnya mencoba.
  • Apa relevansi tulisan dengan konteks sosial, ekonomi, budaya, agama, teknologi, ideologi, dll.?
  • Sampaikan hal yang logis. Beri data akurat dan tunjukkan alur berpikir. Ini yang membedakan tulisan ‘sampah’ atau bukan. Di meja redaksi, selain folder ‘muat-revisi’, ada dua folder lain: ‘sampah-buang’dan ‘kembalikan-komentar’. Sekali masuk ke tong ‘sampah’, sulit bisa mendapat kepercayaan lagi. Jangan menulis sampah. Jika tak yakin, lebih baik tak usah menulis. Atau kirim ke media yang lebih longgar.
  • Media yang baik memberi komentar dan indikasi penerimaan (belum tentu pemuatan) artikel yang dikirim. Jika dalam satu bulan tak ada indikasi/kabar, lupakan. Kirim ke media lain. Jika menerima komentar “Artikel Anda menarik, namun kami kesulitan tempat memuat tulisan Anda”, itu berarti tulisan Anda tidak menarik. Tapi jangan tersinggung dan putus asa. Teruslah menulis!
  • Tulis dengan ringan. Ingat bahwa ringan tidak sama dengan dangkal. Saya pernah menulis untuk Kompas tentang pengalaman survei gua-gua di Gunungkidul yang didanai Toyota Foundation. Tulisan tujuh halaman itu ditolak. Padahal saya merasa yakin tulisan itu lebih baik dibanding tulisan Truman Simanjuntak tentang Pacitan yang dimuat seminggu sebelumnya, baik dari segi kekayaan temuan maupun cara penuturannya (maaf, bukan bermaksud narsis, hanya ingin bilang bahwa menulis itu harus ‘PeDe’). Untuk pembelajaran, saya kirimkan tulisan yang ditolak Kompas itu pada seorang wartawan untuk minta pendapatnya. “Terlalu berat, Jang!”, komentarnya. Saya menulis ulang gagasan itu. Untuk memberikan kesan ringan pada tema-tema kearkeologian yang biasanya berat, saya mengkaitkan petualangan mencari gua-gua di Gunungkidul itu dengan temuan jejak harimau di Gua Plawan. Tulisan jadi, lalu diberi judul Berburu Situs Goa, Temukan Jejak Harimau. Akhirnya dimuat Kompas 19 Juli 2002. Kabar tentang dimuatnya tulisan itu saya dapatkan dari seorang rekan ketika saya sedang melakukan penelitian di Berau, Kalimantan Timur. Senang rasanya tulisan pertama saya di Kompas dibaca rekan-rekan di pedalaman, meski harian umum itu selalu terlambat datang 1 – 2 hari ke Tanjungredeb, Ibukota Kabupaten Berau.
  • Tulis dengan mengalir.
  • Gunakan gaya bahasa yang memikat.
  • Gunakan gaya bertutur untuk argumen-argumen Anda.
  • Bahasa Indonesia –umumnya 1200-1500 kata. EYD
  • Bahasa Inggris –umumnya 800-1000 kata. “s”–“z”– “of”–perhatikan selera media: British –American?
  • Setelah draft tulisan jadi, baca dan perbaiki. Baca dan perbaiki sekali lagi atau dua kali lagi. Beri jeda dulu semalam (untuk ditinggal tidur) sebelum Anda membaca yang terakhir kali.
  • Minta orang lain membaca. Sekali. Tanya apa yang dia pahami dan apa kesannya.
  • Revisi minimal dua kali lagi.
  • Pahami dulu ideologi media yang akan dikirimi tulisan Anda: generalis –sektarian? (Pertimbangkan: ‘kapitalis’–‘sosialis’, ‘nasionalis’–‘agamis’).
  • Pahami pula cara berpikir media: Kompas selalu menekankan pada human interest, KR suka hal-hal mistis, Jakarta Post lebih banyak mengangkat politik dan ekonomi. Ketika saya menulis tentang tinggalan megalit di Gunung Lawu untuk KR, maka saya memadukannya dengan pengalaman mistis di puncak gunung yang memiliki belasan punden itu. Saya yakin KR akan memuatnya. Ternayata benar. Tulisan itu sebulan sebelumnya dikirim di Kompas—karena lebih bergengsi dan bayarannya mahal—tapi ditolak mentah-mentah. Di sini saya tidak mengatakan bahwa Kompas lebih baik daripada KR, karena tulisan seorang teman yang pernah ditolak KR ternyata dimuat Kompas. Ini tentang cara berpikir media.
  • Cermati pula kedalaman media: fundamental atau superfisial?

Kiat Menulis Buku

  • Proses menulis buku meliputi: membangun ide/tesis, menyusun outline, menulis, menyelaraskan bahasa, menyelaraskan huruf, konsultasi publik, menyelaraskan bahasa dan huruf lagi, lalu menerbitkan.
  • Buku dapat ditulis dari hasil laporan penelitian, artikel-artikel yang dirangkai dalam bentuk bunga rampai, skripsi, tesis, catatan harian, dan penelitian langsung yang memang didedikasikan untuk menjadi buku.
  • Yang terpenting dalam menulis buku adalah menentukan tesis (tidak sama artinya dengan tesis untuk S-2), merupakan pendirian dasar yang ditegakkan, kerangka pikir yang dipakai, asumsi dasar atas suatu fakta, dan gagasan yang ingin disampaikan. Tesis ini berfungsi untuk mengendalikan dan memberikan arah kepada unsur yang terpisah dalam tulisan Anda.
  • Menysusn outline yang dibangun di atas dasar tesis.
  • Berikutnya adalah menentukan persfektif atas suatu kebenaran. Secara garis besar perspektif akan kebenaran ilmiah ada dua, yaitu kebenaran melekat pada objek dan kebenaran melekat tidak pada objek melainkan pada manusia yang terkait dengan objek tersebut. Perspektif pertama mendorong penulis untuk objektif, sedangkan perspektif kedua mendorong penulis untuk subjektif, bahkan intersubjektif yang mana subjektifitas penulis dalam penafsirannya diletakkan dalam subjektifitas para pembacanya.
  • Gunakanlah cara bertutur, bukan berkhotbah, agar buku kita tidak terkesan menggurui.
  • Gunakan judul bab dan sub-bab yang memikat yang mendorong orang tertarik membaca buku Anda.
  • Pola penulisan bisa mengikuti pola penulisan artikel. Yang penting jangan seperti skripsi, tesis, disertasi, dan laporan penelitian. Anda bisa saja mencoba seperti pola skripsi, tapi dijamin 99% akan ditolak penerbit, kecuali yang menerbitkan perusahaan Anda sendiri.
  • Yang paling sulit dalam menulis buku adalah membangun semangat yang berkelanjutan, karena biasanya penulisan buku membutuhkan waktu yang sangat lama.
  • Sebelum menulis buku, pastikan dulu bahwa ada penerbit yang tertarik pada tesis dan outline Anda, kecuali jika menulis buku merupakan kegemaran Anda, tak peduli akan diterbitkan atau tidak..
  • Jika Anda bekerja pada lembaga, maka setiap proyek penelitian atau proyek pembangunan seyogyanya mengalokasikan anggaran untuk publikasi. Penerbitan buku tidak terlalu mahal. Untuk 500 eksemplar dengan 150 halaman hanya membutuhkan Rp. 5.000.000,00.

Aspek Bahasa dalam Tulisan Ilmiah Populer

  • Bahasa ilmiah populer adalah bahasa yang singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, dan menarik.
  • Bahasa ilmiah populer harus didasarkan pada bahasa baku, yaitu bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar wibawanya.
  • Gunakan kalimat-kalimat pendek. Jika suatu pikiran bisa ditulis pendek, kenapa ditulis panjang. Yang menjadi penyakit kebanyakan arkeolog adalah menulis panjang. Jika Anda merasakan bahwa menulis yang baik itu harus panjang, maka itu suatu tanda bahwa penyakit itu sudah akut.
  • Guakan bahasa biasa yang mudah dipahami orang.
  • Gunakan bahasa sederhana dan jernih pengutaraannya.
  • Hindari penggunaan kalimat majemuk. Jika terpaksa, maka harus diupayakan sesedikit mungkin kalimat majemuk dalam tulisan Anda.
  • Gunakan bahasa dengan kalimat aktif, bukan kalimat pasif.
  • Gunakan bahasa padat dan kuat.
  • Gunakan bahasa positif, bukan negatif.
  • Penggunaan kata harus ekonomis.
  • Hindari kata-kata mubazir, yaitu kata yang bila tidak dipakai tidak akan mengganggu kelancaran komunikasi.
  • Subyek jangan sampai hilang pada setiap kalimat.
  • Anda harus menghindari kata-kata asing dengan mencari padannya dalam bahasa baku kita.

Sifat tulisan dibedakan menjadi: naratif, deskriptif, eksplanatif (analitik), dan reflektif. Tulisan naratif mengisahkan tentang peristiwa yang mempunyai hubungan sebab-akibat antara satu dengan yang lain dan membawa sesuatu pokok persoalan. Tulisan deskriptif melukisakan keadaan sutu benda, fakta, situasi, lingkungan, dan lain-lain supaya pembaca mendapat kesan tentangnya. Tulisan analitik menjelaskan kesalingterkaitan antara variabel satu dengan variabel lain yang menjadi unit analisis/kajian dalam rangka mencari penafsiran dari kesalingterkaitan antarvariabel itu. Tulisan reflektif berisi tentang renungan-renungan, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaan penulis yang “dibenturkan”dengan subjek yang dikajinya. Karenanya, tulisan reflektif sangat subjektif. Untuk memahami ragam sifat tulisan, perhatikan contoh-contoh paragraf berikut.

Naratif:

Dataran Tinggi Dieng dengan tinggalan arkeologi di dalamnya telah menarik perhatian dan mendorong munculnya berbagai studi/penelitian. Tokoh yang pertamakali tertarik pada keberadaan candi-candi dan tinggalan arkeologi lainnya di Dataran Tinggi Dieng adalah H. C. Cornelius, berkebangsaan Belanda. Ketika pertamakali candi-candi di Dataran Tinggi Dieng diteliti oleh H. C. Cornelius pada tahun 1814, kondisinya sebagian besar masih terendam oleh air, terutama Kompleks Candi Arjuna. Tahun 1856, seorang sarjana Belanda, Van Kinsbergen, berusaha untuk mengeringkan Kompleks Candi Arjuna dari genangan air dengan cara memfungsikan kembali saluran irigasi kuna, yaitu Gangsiran Aswatama. Saluran irigasi ini dahulunya berfungsi untuk mengalirkan air di sekitar dataran agar tidak menggenangi candi.

Deskriptif:

Gangsiran Aswatama adalah sebutan untuk saluran air kuna yang ada di dataran sekitar Kompleks Candi Arjuna menuju ke bawah bukit di sisi baratlaut. Saluran ini terdiri atas saluran permukaan sepanjang 445 m dan saluran bawah permukaan sepanjang 192 m, sehingga total panjang Gangsiran Aswatama adalah 637 m. Saluran sepanjang itu yang dapat teridentifikasi hingga kaki bukit, sedangkan saluran yang menembus bukit belum dapat dihitung jaraknya.

Eksplanatif (Analitik):

Nama Gangsiran Aswatama diambil dari cerita wayang dengan lakon Perang Baratayudha. Menjelang perang berakhir, dikisahkan Aswatama hendak membunuh Bambang Parikesit, anak Arjuna. Untuk dapat sampai ke kamar Parikesit, Aswatama membuat lubang di bawah tanah menggunakan keris sakti pemberian ibunya. Terlepas dari penamaan tersebut, keberadaan saluran air menunjukkan bahwa dataran di sekitar Kompleks Candi Arjuna dulunya adalah lahan basah berupa telaga atau rawa. Gangsiran Aswatama berfungsi untuk mengalirkan air dari dataran sehingga menjadi kering. Berdasarkan asumsi ini, maka diperkirakan saluran air tersebut dibangun sebelum pembangunan candi.

Reflektif:

Selain candi, di Dataran Tinggi Dieng juga ditemukan indikasi adannya bangunan profan berupa umpak-umpak batu dan struktur batu. Struktur bangunan profan sudah tidak dapat direkonstruksi. Beberapa orang ahli menduga bahwa bangunan profan tersebut dulunya terbuat dari kayu dengan umpak-umpak dari batu. Oleh karena sudah dimakan usia, maka kayu-kayu tersebut tidak dapat bertahan lama (Kempers, 1959:32). Bangunan ini ada yang berukuran kecil dan besar, dan antarbangunan saling berdekatan. Denah yang demikian mengingatkan pada tempat tinggal para agamawan di sekitar kuil dalam film-film klasik Cina. Kesan itu lebih terasa terutama setelah saya tinggal beberapa malam di pondok kayu hasil rekonstruksi BP3 Jawa Tengah di atas umpak-umpak batu yang dikenal dengan nama Darmacala itu.

Dalam satu kalimat hanya berisi satu pikiran, jangan sampai lebih. Sebuah kalimat adalah ekspresi atau pernyataan suatu pikiran yang lengkap. Kalimat jangan sampai membuat pembaca ragu-ragu tentang apa yang ingin disampaikan penulis (Rosihan Anwar, 2004: 120).

Dalam satu paragraf terdiri dari kalimat-kalimat yang terikat dalam satu topik atau satu pokok pikiran. Kalimat-kalimatnya harus menyusul satu sama lain secara logis, gagasan dalam masing-masing kalimat timbul secara wajar dari sesuatu pikiran yang telah disarankan oleh kalimat sebelumnya (Rosihan Anwar, 2004: 123). Akhirnya, satu paragraf harus mempunyai kesatuan perlakuan dan suasana dan jelas sifatnya apakah naratif, deskriptif, eksplanatif, atau reflektif.

Catatan Akhir

Tak ada resep jitu untuk mahir menulis. Alah bisa karena biasa. Pepatah itu berlaku pula dalam belajar menulis.

Arkeolog sangat berpotensi untuk mengembangkan tulisan yang bersifat naratif, deskriptif, eksplanatif, dan reflektif karena bidang ilmunya sangat mendukung ke arah itu. Bandingkan dengan tulisan-tulisan antropolog yang cenderung deskriptif dan replektif saja atau sejarawan yang cenderung naratif atau ekonom yang cenderung eksplanatif.

Berdasarkan pengalaman pribadi saya, jika ingin bisa menulis harus rajin membaca, mendengar, dan mengamati. Setelah itu tuangkan gagasan dan keluh-kesah kita yang didapat dari membaca, mendengar, dan mengamati itu dalam bentuk tulisan. Mudah bukan?

Sumber Pustaka

Alif Danya Munsyi. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Asep Syamsul M. Romli. 2001. Jurnalistik Praktis untuk Pemula. Bandung: Rosdakarya.

Ashadi Siregar dan I Made Suarjana. 1995. Bagaimana mempertimbangkan Artikel Opini untuk Media Massa?. Yogyakarta: Kanisius.

Bill Kovach & Tom Rosenstiel. 2004. Elemen-elemen Jurnalisme. Jakarta: ISAI.

Hasan Alwi (Redaktur). 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka dan Departemen Pendidikan Nasional.

R.S. Kurnia. 2008. Menulis Ilmiah Populer. http//www.........

Rosihan Anwar. 2004. Bahasa Jurnalistik Indonesia dan Komposisi. Yogyakarta: Media Abadi.

Slamet Soeseno. 1982. Teknik Penulisan Ilmiah-Populer. Jakarta: Gramedia.

Tartono, St. S. 2005. Menulis di Media Massa Gampang!. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.

Wilson Nadeak. 1989. Bagaimana Menjadi Penulis Kristiani yang Sukses. Bandung: Yayasan Kalam Hidup.

Xavier Quentin Pranata. 2002. Menulis dengan Cinta: Belajar Mandiri dan Mengajarkan Kembali Jurnalisme Kasih Sayang. Yogyakarta: Yayasan ANDI.

Yanuar Nugroho. 2007. Menulis Ilmiah Populer di Media Massa: Sebuah Catatan Pengalaman. http://ynugroho.multiply.com; http://audentis.wordpress.comr