Sunday, February 15, 2009

Petualangan

Mendaki Gunung, Siapa Takut?

Oleh: Jajang A. Sonjaya
Dimuat dalam Harian Kedaulatan Rakyat


Bila kita berdiri di puncak sebuah gunung, pernahkah terpikir untuk tidak kembali ke bawah?
Itulah hidup, kadang di atas kadang di bawah.
Apa yang dilalui dalam petualangan kita,
jadikanlah sebagai pedoman dalam berfikir dan bertindak.

Itulah tanda bahwa kita tidak mensia-siakan hidup,cap yang selalu diberikan pada kita: petualang.


Tahun 1995, menjelang upacara kemerdekaan di Puncak Ciremai, seorang teman pamit turun duluan. Ketika dua hari kemudian saya turun gunung, orang tua yang pamit tadi sudah menunggu di Palutungan, salah satu desa terakhir menuju puncak. Mereka menanyakan mengapa anaknya belum juga pulang.

Delapan hari kemudian, anak itu ditemukan tergeletak di antara bongkahan-bongkahan batu di dasar kawah Ciremai yang dalamnya mencapai 200-an meter. Tubuhnya menggelembung dan membiru. Beberapa bagian kulitnya melepuh terkena sengatan matahari selama berhari-hari. Rupanya ia terpeleset sewaktu jalan di pinggir kawah menuju jalur turun lewat Linggarjati.

Lalu 9-14 Februari 2001, kejadian cukup tragis menimpa lima pendaki Yogya di Gunung Slamet. Kecelakaan itu cukup mengguncangkan dunia pendakian. Tak hanya di Jawa Tengah dan Yogyakarta, tapi juga di seluruh tanah Jawa. “Mengapa bisa terjadi?” dan “mengapa harus sebanyak itu nyawa melayang?” demikian pertanyaan yang selalu saya terima, baik lewat e-mail atau ketika ketemu teman-teman lama. Belum juga musibah Slamet hilang dari ingatan, satu lagi pendaki ditemukan tewas pada tanggal 19 Agustus 2002 di lereng selatan Merapi. Namanya turut menambah sederet korban meninggal di Gunung.

Banyaknya korban meninggal di Gunung, karuan saja membuat para orang tua mengkhawatirkan anaknya terjun ke dunia petualangan yang satu ini. Tak sedikit pula mahasiswa atau pelajar yang mengurungkan niatnya atau berpikir dua kali untuk masuk ke organisasi pecinta alam. Bahkan tak cuma itu, belakangan banyak pertanyaan sinis dilontarkan pada para pendaki, “ngapain naik gunung, apa sih yang dicari?”

Wajar bila muncul pertanyaan semacam itu. Seberapa kecilnya bahaya di gunung, memang ada. Selain mereka yang menyukai tantangan, siapa sih yang mau mendekati bahaya? Puncak yang tinggi menjulang, suhu yang dingin, badai, hujan, hutan yang lebat, jurang-jurang yang terjal, gas beracun, merupakan bahaya yang biasa dijumpai di gunung. Ragam bahaya itu justru menjadi daya tarik bagi mereka yang memiliki ketangguhan fisik dan keberanian.

Untuk gunung-gunung tropis, selain Pegunungan Jaya Wijaya di Papua, bahaya di gunung sebenarnya tidaklah tinggi seperti yang dipikirkan banyak orang. Bahaya itu bisa ditekan bahkan ditepis, cukup dengan bekal pengetahuan dan keterampilan. Manajemen pendakian, nevigasi, perlengkapan-perbekalan, medical practice, survival, adalah pengetahuan dan keterampilan yang mutlak harus dikuasai para pendaki. Selain itu, pendaki gunung juga perlu dibekali keterampilan pendukung, seperti cara memasak praktis, cara berjalan, cara berpakaian yang adaptif dengan lingkungan, cara menjaga tubuh agar tetap bugar, hingga cara memotret.

Semua itu bisa didapatkan dengan cara belajar sendiri. Sebagian orang ada yang mendapatkannya dengan menimba ilmu dari organisasi pecinta alam dan sejenisnya. Dalam menerima anggota, organisasi semacam ini biasanya menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan berupa teori dan praktek di lapangan. Mendaki gunung, umumnya menjadi materi pokok dalam kegiatan ini. Selanjutnya, pengetahuan seseorang dalam hal mendaki gunung dengan sendirinya akan ditempa melalui pengalaman langsung di lapangan.

Kenyataan yang ada di gunung-gunung seperti Slamet, Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro, dan Lawu, setiap malam minggu atau musim libur, isinya hanya sebagian kecil saja yang benar-benar pendaki. Kebanyakan dari pendaki itu adalah para ‘pengebut semalam’ –yang hanya mendaki satu malam saja. Di punggungnya hanya tersangkut tas kecil yang isinya bisa ditebak: perlengkapan yang jauh dari memadai dan bekal makanan yang pas-pasan.

Bagaimana tubuh bisa bertahan di gunung jika makanan pas-pasan dan tidak membawa alat masak? Bagaimana bisa mempertahankan suhu tubuh jika tidak mengenakan pakaian hangat dan kantong tidur yang layak? Bagaimana bisa melakukan pertolongan pertama pada rekan atau diri sendiri ketika terserang sakit atau mendapat kecelakaan jika mengabaikan medical kit? Bagaimana orang lain tahu kita mendapat kesulitan di gunung jika bawaan kita tidak dilengkapi alat komunikasi? Bagaimana bisa melepaskan diri dari ketersesatan jika tidak dibekali pengetahuan dan alat navigasi? Bagaimana bisa bertahan hidup di gunung jika tidak mempunyai keterampilan bertahan hidup di alam bebas? Bagaimana bisa menahan dingin dan terpaan angin jika tidak membawa tenda? Bagaimana bisa mempertahankan kesadaran jika kepala tidak mengenakan Kupluk/balaclava?

Mendaki pada malam hari adalah suatu bahaya yang sengaja diciptakan. Saat jalan malam, energi pendaki tidak hanya habis untuk melewati tanjakan-tanjakan yang terjal, tapi juga terkuras untuk melawan dingin. Belum lagi tarikan nafas harus berebut oksigen dengan tumbuhan. Pada malam hari, tumbuhan menghirup oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Makanya, hidung selalu mengeluarkan ingus dan sulit sekali mengambil nafas. Lubang hidung rasanya tinggal selubang jarum.

Saat jalan malam, pendaki biasanya enggan mengenakan pakaian hangat atau penutup kepala, karena saat itu memang tubuh terasa panas dan banyak mengeluarkan keringat. Padahal, angin dan suhu di gunung jika dibiarkan menerpa tubuh dan kepala akan menyebabkan suhu tubuh menurun, juga suplai oksigen ke otak akan terganggu. Akibatnya, selain menggigil kedinginan, pendaki tersebut kesadarannya akan menurun atau bahkan hilang. Tak heran jika banyak orang di gunung yang terkena halusinasi atau bertingkah yang aneh-aneh. Bisa jadi jurang disangkanya jalan setapak, atau hembusan angin dikiranya suara air terjun. Hal-hal seperti itu biasa dialami orang di gunung jika tingkat kesadaran mereka menurun.

Seorang teman, ketika mendaki Gunung Slamet, tiba-tiba menyodorkan uang pada sebatang pohon. Yang ada dalam bayangannya, pohon itu adalah warung rokok. “Beli rokoknya, Bang!” katanya setengah berteriak. Setelah itu ia terkulai tak sadarkan diri.

Membawa perlengkapan standar pendakian yang seabrek dan bekal makanan untuk berhari-hari memang berat. Bayangkan bagaimana tanjakan-tanjakan tajam di gunung harus diselesaikan dengan menggendong ransel 30-an kilogram. Tapi tak masalah jika langkah kaki dan nafas bisa membentuk irama yang konstan. Perlahan dan pasti, langkah-langkah kecil dijamin bisa melalui tanjakan yang ada.

Energi pun tak akan habis, karena saatnya makan bisa memasak makanan yang bergizi, dan saat malam tiba bisa tidur dengan nyenyak di tenda. Dengan hangatnya kantong tidur dan tenda, tak ada alasan untuk membuat api unggun –yang karena lalai bisa membakar habis gunung, seperti yang sering terjadi di gunung-gunung saat musim kemarau.

Prosedur keamanan pendakian dengan sendirinya akan terpenuhi jika manajemen pribadi kuat. Bila perlu, satu pendaki satu pula tendanya, satu alat masak, beberapa paket makanan yang cukup untuk perjalanan, satu kotak P3K, dan seperangkat pakaian hangat yang memadai. Sehingga jika terpaksa terpisah dengan temannya, akan mampu bertahan hidup. Manajemen kelompok yang dibina secara ketat, justru menyebabkan saling ketergantungan satu sama lain. Akibatnya si pendaki akan menyepelekan hal-hal kecil yang biasanya akan menjadi bumerang jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan di gunung.

Dengan perlengkapan dan bekal yang memadai, pendakian minimal 3-4 hari akan menjadi petualangan yang aman dan menyenangkan. Siang bisa berjalan sembari menikmati alam yang segar, malam menjelang tidur bisa menerawang ke angkasa, menikmati kebesaran Sang Pencipta. Dari sana kita akan merasakan, bahwa mendaki gunung itu adalah seni. Bagaimana kita merencanakan pendakian, menegmas barang-barang dalam ransel yang terbatas, memasak beraneka makanan, mengontrol pemasukan dan pengeluaran pada tubuh, mencari irama langkah yang pas, mengambil keputusan-keputusan yang mendadak dan rumit, akan menjadi kegiatan yang tidak saja memberi kepuasan, tapi juga membentuk pribadi yang tangguh. Nikmatnya mendaki gunung tidak hanya ketika kaki berdiri di puncak, tapi sejak merencanakan, mempersiapkan, berjalan, hingga pulang dengan selamat.

Dengan begitu, tak ada alasan untuk meninggal di gunung. Tak ada pula alasan untuk takut mendaki. Dari berbagai kecelakaan yang terjadi di gunung, diharapkan dapat menumbuhkan rasa kehati-hatian dan kesadaran bahwa mendaki bukan sekedar hobi yang main-main. Mendaki gunung tak bisa hanya mengandalkan kekuatan fisik semata. Bekal wawasan, pengetahuan, dan keterampilan mendaki gunung, perlu dimiliki oleh para pendaki.

4 comments:

J. A. SONJAYA said...

Terima kasih atas informasinya. Jika saya ingin membeli, Anda tentu menjadi salah satu pertimbangan kami. Salam

Asri Alfa said...

Artikelnya membantu sekali mas, buat saya yang baru nemu mainan baru: naik gunung.

Zaldy ardian said...

naik gunung lewati lembah

Salam

sewa bus di surabaya
sewa alphard di surabaya
sewa hiace di surabaya

lapetidup said...

Nice blog